REFLEKSI DAN TANTANGAN BENGKEL UMKM

Oleh: Hermas E Prabowo, Ketua Umum Persatuan Bengkel Otomotif Indonesia (PBOIN)

Jakarta, PBOIN – Hari Raya Idul Fitri 1443 H baru saja berlalu. Ada beberapa keadaan yang bisa menjadi catatan penting, yang layak menjadi bahan renungan bagi pelaku usaha bengkel otomotif di Tanah Air, utamanya bengkel skala UMKM.

Pertama, dalam konteks makro, usaha bengkel UMKM menghadapi tekanan hebat dampak dari pandemi Covid 19.

Mobilitas kendaraan sangat dibatasi, akibat adanya PPKM. Secara nasional ini berakibat pada mengecilnya kue ekonomi usaha bengkel.

Populasi kendaraan baik mobil dan motor yang menjalani perawatan berkala dan perbaikan berkurang drastis.

Efeknya pendapatan usaha bengkel UMKM turun drastis, dan kesejahteraan berkurang. Sebagian besar bengkel UMKM terpaksa harus merumahkan mekaniknya.

Kedua, kenaikan harga-harga barang kebutuhan hidup. Naiknya harga BBM di pasar dunia, sebagai ekses dari percepatan pemulihan ekonomi global pasca pandemi Covid 19, mendorong kenaikan harga barang kebutuhan hidup.

Efeknya daya beli masyarakat turun. Kendaraan bukan kebutuhan primer bagi banyak orang, sehingga lagi-lagi pemilik kendaraan menunda atau membatalkan perawatan dan perbaikan.

Ketiga, masih dalam konteks global, perang Rusia vs Ukraina yang terus meningkat ekskalasinya, dan mendorong makin tingginya harga-harga kebutuhan hidup.

Keempat, naiknya harga BBM dan kebutuhan hidup, mendorong naiknya harga sparepart kendaraan, termasuk oli.

Naiknya harga suku cadang terjadi di tengah turunnya daya beli dan populasi mobil yang menjalani perawatan dan perbaikan di bengkel UMKM.

Dampaknya pendapatan dan keuntungan bengkel UMKM tergerus secara signifikan.

Kelima, masuknya pengusaha besar atau korporasi dalam bisnis perawatan dan perbaikan kendaraan, yang semakin meluas dan ekspansif. Setelah Shop & Drive, mulai muncul Astra Otoservice, dan beberapa yang lain.

Yang terakhir tidak saja menyasar pasar mobil dengan merek tertentu, tapi semua merek. Sejauh ini tidak ada pembatasan kavling dalam bisnis bengkel, bebas dan terbuka. Tidak menutup kemungkinan, korporasi lain akan masuk.

Keenam, rendahnya kualitas lulusan SMK Otomotif dalam pembelajaran era pandemi. Motivasi kerja yang juga rendah. Di sisi lain ingin pendapatan tetap, meski belum bisa kerja.

Ketujuh, masih kurangnya perhatian Pemerintah terhadap pemulihan ekonomi dan kelangsungan usaha bengkel UMKM.

Bila dibandingkan dengan sektor pariwisata dan transportasi, perhatian Pemerintahan Joko Widodo, termasuk di dalamnya Kementerian Koperasi dan UMKM terhadap usaha bengkel UMKM bagai langit dan bumi.

Padahal sektor bengkel dan bisnis sparepart menyerap lebih dari 2 juta tenaga kerja, dengan perputaran uang lebih dari Rp 300 triliun per tahun.

Melibatkan 400.000 usaha bengkel, dan menghidupi puluhan juta rakyat kecil. Sayang tidak diurusin.

Proyeksi

Setelah refleksi di masa lalu, bagaimana prospek dan proyeksi, juga tantangan pelaku usaha bengkel UMKM di masa mendatang. Mari kita bahas satu-satu.

Pertama, tekanan ekonomi global akibat dampak pandemi Covid 19, perang Ukraina vs Rusia dan dampak kenaikan harga masih akan terasa.

Kita belum tahu dampak dari perang akan seberapa parah menciptakan kekacauan ekonomi global, dan menggerus daya beli masyarakat. Apakah perang juga akan melanda kawasan Asia, yang juga mulai ada ketegangan.

Kedua, kenaikan harga sparepart nasih terus akan menekan pendapatan bengkel. Tidak ada cerita harga sparepart turun.

Ketiga, tekanan perluasan bisnis jasa bengkel oleh pengusaha besar atau korporasi yang akan menggerus, mengancam dan menggusur bengkel skala UMKM, karena efek persaingan bebas

Saat ini belum begitu terasa dampaknya, karena populasinya belum banyak dan belum masif. Ke depan tentu akan menjadi catatan tersendiri.

Keempat, pengembangan mobil listrik yang masif akan menggerus dan menghilangkan sebagian besar usaha bengkel UMKM. Karena minimnya perawatan dan sedikitnya jumlah komponen yang diperbaiki, dibanding mesin sistem pembakaran dalam.

Kelima, masalah SDM mekanik lulusan SMK Otomotif yang rendah kualitas, masih akan dirasakan dua-tiga tahun ke depan.

Keenam, semakin cerdasnya konsumen. Ke depan para pemilik kendaraan akan makin selektif memilih bengkel.

Mereka akan memilih bengkel yang lebih profesional, customer tidak mau lagi menanggung risiko kesalahan diagnosa dan kegagalan perbaikan, memilih untuk membuat “kontrak” perawatan dan perbaikan kendaraan yang clear di depan, tidak mudah terkecoh “janji surga”, dan lebih sadar dengan kualitas.

Calon customer juga tidak akan mudah terpancing strategi harga perbaikan murah, lalu nembak di belakang.

Antisipasi

Berbagai langkah antisipasi sebaiknya dilakukan oleh pelaku usaha bengkel, agar bisa bertahan dan supaya tidak menjadi fosil.

Pertama, terkait dengan aspek makro, yang paling mungkin bisa dilakukan adalah melakukan optimalisasi kerja dan efisiensi operasional.

Kedua, terkait kenaikan harga sparepart, perlu mencari supplier baru, atau agen yang lebih besar untuk mendapat harga yang lebih kompetitif.

Bagus juga berhimpun dalam organisasi bengkel, komunitas dll agar bisa membeli dengan partai besar, sehingga dapat harga lebih baik.

Ketiga, terus meningkatkan profesionalitas, kompetensi dalam pengelolaan bisnis, dan peningkatan skill melalui berbagai kursus dan pelatihan, agar siap bersaing.

Jangan menunggu semua habis dan terlambat, mulai dari sekarang harus di antisipasi.*